PENGEMBANGAN EKONOMI PONDOK PESANTREN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Manajemen Pendidikan Diniyah dan Pesantren
Dosen Pengampu : Dr.
H. Fatah Syukur NC, M.Ag
Disusun Oleh :
1.
Erlina
Handayani (133311016)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pesantren sebagai sebuah institusi budaya yang
lahir atas prakarsa dan inisiatif (tokoh) masyarakat dan bersifat otonom, sejak
awal berdirinya merupakan potensi strategis yang ada di tengah kehidupan sosial
masyarakat. Kendati kebanyakan pesantren hanya memposisikan dirinya sebagai
institusi pendidikan dan keagamaan, namun sejak tahun 1970-an beberapa
pesantren telah berusaha melakukan reposisi dalam menyikapi berbagai persoalan
sosial masyarakat, seperti ekonomi, sosial, dan politik.[1]
Pesantren dengan berbagai harapan dan predikat yang
dilekatkan kepadanya, sesungguhnya berujung pada tiga fungsi utama yang
senantiasa diembannya, yaitu: (1) sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir
agama (centre of exellence), (2) sebagai lembaga yang mencetak sumber
daya manusia (human resource), (3) sebagai lembaga yang mempunyai
kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent of development). Selain
ketiga fungsi tersebut pesantren juga dipahami sebagai bagian yang terlibat
dalam proses perubahan sosial (social change) di tengah perubahan yang
terjadi.
Pada batas tertentu pesantren tergolong di antara
lembaga pendidikan keagamaan swasta yang leading, dalam arti
berhasil merintis dan menunjukkan keberdayaan baik dalam hal kemandirian penyelenggaraan
maupun pendanaan (self financing). Tegasnya selain menjalankan tugas
utamanya sebagai kegiatan pendidikan Islam yang bertujuan regenerasi ulama,
pesantren telah menjadi pusat kegiatan pendidikan yang konsisten dan relatif
berhasil menanamkan semangat kemandirian, kewiraswastaan, semangat berdikari
yang tidak menggantungkan diri kepada orang lain.
Pengembangan ekonomi masyarakat pesantren mempunyai
andil besar dalam menggalakkan wirausaha. Di lingkungan pesantren para santri
dididik untuk menjadi manusia yang bersikap mandiri dan berjiwa
wirausaha. Pesantren giat berusaha dan bekerja secara independen tanpa
menggantungkan nasib pada orang lain atau lembaga pemerintah swasta. Secara
kelembagaan pesantren telah memberikan tauladan, contoh riil (bi al-haal)
dengan mengaktualisasikan semangat kemandirian melalui usaha-usaha yang konkret
dengan didirikannya beberapa unit usaha ekonomi mandiri pesantren. Secara umum
pengembangan berbagai usaha ekonomi di pesantren dimaksudkan untuk memperkuat
pendanaan pesantren, latihan bagi para santri, dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pengembangan ekonomi pondok pesantren ?
2.
Apa
saja potensi ekonomi yang dimiliki Pondok Pesantren ?
3.
Apa
saja hambatan dalam pengembangan ekonomi pondok pesantren?
II.
PEMBAHASAN
1.
Pengembangan
Ekonomi Pondok Pesantren
Berangkat dari kesadaran bahwa tidak semua santri
akan menjadi ulama, maka beberapa pesantren mencoba membekali santri dengan keterampilan
dibidang pengembangan ekonomi. Artinya santri yang dihasilkan diharapkan
mempunyai pengalaman dan syukur keahlian praktis tertentu yang nantinya
dijadikan modal untuk mencari pendapatan hidup sekeluar dari pesantren. Kalau
mencermati perilaku ekonomi di lingkungan pesantren pada umumnya, kita dapat
menerka kemungkinan model apa yang sedang berjalan dalam usaha-usaha tersebut.
Setidaknya ada empat macam pengembangan ekonomi di lingkungan pesantren yaitu[2]:
Pertama, pengembangan ekonomi yang berpusat pada kyai sebagai
orang yang paling bertanggungjawab dalam mengembangkan pesantren. Misalnya
seorang kyai mempunyai perkebunan cengkih yang luas. Untuk pemeliharaan dan
pemanenan, kyai mmelibatkan santri-santrinya untuk mengerjakannya. Maka
terjadilah hubungan mutualisme saling menguntungkan: kyai dapat memproduksikan
perkebunannya, santri mempunyai pendapat tambahan, dan ujungnya dengan
keuntungan yang dihasilkan dari perkebunan cengkeh maka kyai dapat menghidupi
kebutuhan pengembangan pesantrennya.
Kedua, pengembangan ekonomi pesantren untuk memperkuat biaya
operasional pesantren. Contohnya, pesantren memiliki unit usaha produktif
seperti menyewakan gedung pertemuan, rumah dsb. Dari keuntungan usaha-usaha
produktif ini pesantren mampu membiayai dirinya, sehingga seluruh biaya
operasional pesantren dapat ditalangi oleh usaha ekonomi ini.
Ketiga, pengembangan ekonomi untuk santri dengan memberi
ketrampilan dan kemampuan bagi santri agar kelak ketrampilan itu dapat
dimanfaatkan selepas keluar dari pesantren. Pesantren membuat program
pendidikan sedemikian rupa yang berkaitan dengan usaha ekonomi seperti
pertanian dan peternakan. Tujuannya semata-mata untuk membekali santri agar
mempunyai ketrampilan tambahan, dengan harapan menjadi bekal dan alat untuk
mencari pendapatan hidup.
Keempat, pengembangan ekonomi bagi para alumni santri.
Pengurus pesantren dengan melibatkan para alumni santri menggalang sebuah usaha
tertentu dengan tujuan untuk menggagas suatu usaha produktif bagi individu
alumni, syukur bagai nanti keuntungan selebihnya dapat digunakan untuk
mengembangkan pesantren. Prioritas utama tetap untuk pemberdayaan para alumni
santri. Contohnya Pesantren mendirikan usaha ekonomi berupa koperasi yang
bergerak dalam kegiatan simpan pinjam, perdagangan dan lain-lain.
2.
Potensi Ekonomi Pondok Pesantren
a.
Kyai-Ulama
Kyai-ulama pesantren yang dipandang sebagai potensi pesantren yang
mempunyai nilai ekonomis, setidaknya dapat kita lihat pada tiga hal:
a) Kedalaman ilmu kyai-ulama. Artinya, figur
seorang kyai merupakan magnet (daya tarik) yang luar biasa bagi calon santri
untuk berburu ilmu. Pada umumnya, seorang kiai adalah tokoh panutan masyarakat
dan pemerintah. Ketokohan seorang kyai ini memunculkan sebuah kepercayaan, dan
dari kepercayaan melahirkan akses.
b. Pada umumnya, seorang kyai sebelum membangun pesantren telah mandiri secara
ekonomi, misalnya sebagai petani, pedagang, dan sebagainya. Sejak awal kyai
telah mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh, tidak hanya dari aspek mental,
tetapi juga sosial ekonomi. Jiwa dan semangat entrepreneurship inilah
yang mendasari kemandirian perokonomian pesantren. Apabila aset dan jiwa entrepreneurship
ini dipadukan, maka hasilnya dapat dijadikan dasar membangun tatanan
ekonomi pesantren.
c. Santri
Potensi ekonomi kedua yang melekat pada pesantren adalah para santri. Hal
ini dipahami bahwa pada umumnya santri mempunyai potensi/bakat bawaan seperti
kemampuan membaca al-Qur’an, kaligrafi, pertukangan, dan lain sebagainya. Bakat bawaan
ini sudah seharusnya selalu dipupuk dan dikembangkan. Karena itulah, ada
baiknya bila dalam Ponpes diterapkan penelusuran potensi/bakat dan minat
santri, kemudian dibina dan dilatih. Dengan demikian, dalam Ponpes tersebut
perlu juga dikembangkan Wadah Apresiasi Potensi Santri (WAPOSI), wadah semacam
ini, mungkin sudah ada di beberapa Ponpes, tinggal bagaimana mengaturnya supaya
produktif. Perlu juga ditambahkan, penggalian potensi diri santri-murid ini
merambah pada potensi-potensi, semisal politisi, advokasi, jurnalistik, dan
seterusnya. Karenanya, untuk ke depan wajah Ponpes menjadi semakin kaya ragam
dan warna.
d. Pendidikan
Potensi ekonomi dari
pendidikan pesantren ini terletak pada santri/murid, guru,sarana dan prasarana.
Dari sisi santri/murid, sudah barang tentu dikenai kewajiban membayar SPP, di
samping sumbangan-sumbangan wajib lainnya.
Untuk kelancaran proses belajar mengajar, diperlukan
seperangkat buku, kitab, dan alat-alat tulis. Dari sini bisa dikembangkan salah
satu unit usaha pesantren yang menyediakan sarana belajar tersebut. Misalnya
toko buku/kitab, alat tulis, dan photo copy. Belum lagi dari sisi kebutuhan sehari-hari,
seperti makan, minum, air, telephon, asrama, pakaian, dan lain sebagainya. Potensi
ekonomi dari sektor pendidikan ini tentu menjadi semakin sempurna bila digabung
dengan potensi diri santri-murid seperti telah dijelaskan dalam poin dua.
Persoalannya tinggal bagaimana semua potensi ini dikelola secara profesional,
tetapi tetap menampilkan karakteristik pesantren.[3]
Inilah salah satu
tantangan Ponpes dan lembaga pendidikan yang ada dalam Ponpes. Karena itulah diperlukan keberanian manajerial dari para pengasuh untuk
mewarnai manajemen Ponpes secara lebih profesional dan modern, tetapi khas
pesantren. Dalam konteks ini, keharismatikan seorang Kiai-ulama, tidak hanya
dilihat dari aspek agama, tetapi juga aspek yang lain, seperti wawasan dan
manajerial Kiai-ulama. Apabila ketiga pilar utama ini terpenuhi, Ponpes telah
memenuhi tiga fungsi utamanya, yaitu Pertama, sebagai pusat pengkaderan
pemikir-pemikir agama (center of excellence). Kedua, sebagai lembaga
yang mencetak sumber daya manusia (human resource). Ketiga, sebagai
lembaga yang melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent of development).
3. Hambatan dalam pengembangan ekonomi pondok pesantren
Salah satu fungsi dan peran pesantren
adalah pemberdayaan ekonomi umat. Pengembangan wirausaha menjadi salah bidang
yang penting untuk dikelola. Mengacu pada peran dan fungsi pesantren yang
diemban tersebut, setidaknya ada tiga problem mendasar dalam pengembangan unit
usaha di pesantren yang harus disadari bersama dan segera dicari solusinya.
a. Sumber Daya Manusia (SDM)
Kualitas SDM di Indonesia yang dinilai
masih sangat minim, secara objektif harus diakui bahwa sebagian di antaranya
adalah sumber daya manusia pesantren. SDM di sini tentu saja tidak hanya
meliputi kemampuan dasar akademis, tetapi juga kemampuan skill
individual-kolektif. Perpaduan antara kemampuan akademis dan skill
individual-kolektif inilah yang pada saatnya sangat menentukan terhadap
kualitas suatu produk. Terbatasnya sumber daya manusia pesantren inilah yang
menjadi problem pengembangan wirausaha di pesantren.
Pondok
pesantren sebagai basis penciptaan generasi muda merupakan peluang yang cukup
besar untuk menciptakan SDM dengan kompetensi utama. Dalam sistem pondok
pesantren dikembangkan hal-hal berikut:
a). Pengetahuan
agama
Pengetahuan agama diberikan kepada
santri pondok diharapkan sebagai landasan mental spiritual yang akan mampu
menjadi fliter atau penyaring terhadap budaya-budaya yang tidak produktif dan
justru menjerumuskan generasi muda. Salah satu contoh budaya global yang sering
menjangkiti yaitu minuman keras, budaya hedonis. Generasi muda yang sudah terjangkit
penyakit tersebut dapat dipastikan tidak baik untuk masa depan dirinya,
lingkungan maupun bangsanya.
b). Pengetahuan Umum
Disamping pengetahuan agama santri
pondok juga dibekali pengetahuan umum. Bekal pengetahuan umum ini berfungsi
sebagai upaya untuk membaca fenomena alam dan sekaligus dapat berkreasi sesuai
dengan bekal pengetahuan yang dimiliki untuk selanjutnya memanfaatkan, mengolah
alam atau hasil alam menjadi sesuatu yang produktif dalam konteks kemakmuran.
c). Ketrampilan
Meskipun
santri sudah memiliki pengetahuan agama dan umum namun tidak memiliki
ketampilan maka sangat besar kemungkinkan tidak dapat berkreasi. Dengan adanya
bekal ketrampilan santri dapat berkarya, menciptakan segala sesuatu, atau memanfaatkan
segala sesuatu sesuai dengan minatnya. Ketrampilan yang dikembangkan dengan
baik menjadi sarana mereka untuk lebih mandiri dan mampu menciptakan pekerjaan.
d). Kemampuan
Bekal
pengetahuan baik agama dan pengetahuan umum, ketrampilan saja tidak cukup untuk
dapat menjadi pemimpin atau pemenang dalam persaingan. Santri perlu juga
dibekali dengan kemampuan. Kemampuan tersebut terdiri dari berbagai aspek baik manajerial,
marketing, bisnis, kepemimpinan. Sarana untuk mewujudkan hal itu semua adalah
dengan memberikan sarana berlatih, penggemblengan riil dan terjun secara
langsung dalam wadah yang nyata.[4]
b. Kelembagaan
Secara garis
besar, model kelembagaan Ponpes dapat dikategorikan ke dalam dua
kategori,sebagai berikut:
a) Integrated Structural
Model kelembagaan integrated structural
adalah semua unit/bidang yang ada dalam pesantren merupakan bagian tak
terpisahkan dalam pesantren. Model seperti ini, sebenarnya tidak terlalu
bermasalah, dengan syarat masing-masing bagian mempunyai job description
yang jelas, termasuk hak dan kewenangannya. Sebaliknya, apabila tanpa adanya
job description yang jelas, sementara kendali organisasi berpusat
hanya pada satu orang, maka dapat dipastikan bahwa sistem keorganisasian dan
kelembagaan sulit untuk berkembang.
b) Integrated Non Structural
Model kelembagaan pesantren integrated
non structural adalah unit atau bidang-bidang, misalnya bidang usaha
ekonomi, bidang pengabdian masyarakat, dan bidang kesehatan yang dikembangkan
pesantren terpisah secara struktural organisatoris. Artinya, setiap bidang
mempunyai struktur tersendiri yang independen. Meski demikian, secara emosional
dan ideologis tetap menyatu dengan pesantren. Pemisahan lembaga ini dimaksudkan
sebagai upaya kemandirian lembaga, baik dalam pengelolaan atau pengembangannya.
Model kelembagaan seperti ini biasanya mengadopsi sistem manajemen modern.
Karenanya tolak ukurnya adalah profesionalisme.
c. Terobosan/Inovasi dan Networking/Jaringan
Problem ketiga yang dirasa mendasar adalah
kurangnya keberanian dari pesantren untuk melakukan terobosan ke luar, atau
membuat jaringan, baik antara pesantren, maupun antara pesantren dengan
institusi lain. Pentingnya pesantren untuk membina hubungan dengan institusi
lain adalah untuk memahami eksistensinya sebagai agent of development.
Sebab, untuk menjadi agen perubahan dan pemberdayaan, ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi, antar lain: wawasan, komunikasi, kekuasaan/kekuatan, politik,
dan modalitas ekonomi. Dengan jaringan dan kerjasama yang dijalin, pesantren
diharapkan mampu meningkatkan komunikasi, wawasan, dan kekuatan yang
dimilikinya.
III.
ANALISIS
Pondok Pesantren kenyatannya
adalah lembaga potensial untuk bergerak ke arah ekonomi, sebagaimana kekuatan
yang dimilikinya. Jika Ponpes hanya menjadi penonton di era yang akan datang,
maka lembaga-lembaga ekonomi mikro lain boleh jadi bergerak ke arah kemajuan.
Oleh karena itu, kiranya diperlukan analisis yang cermat untuk melakukan
penguatan kelembagaan ekonomi ini, agar tidak salah melangkah. Sasaran akhir
dari pengembangan ekonomi Ponpes adalah kemandirian pesantren. Baik pada
institusi formal atau non formal. Labelling itu tentunya tidak
mengenakkan. Ponpes akan terbebas dari anggapan itu kalau Ponpes menjadi
lembaga yang kuat terutama dalam sektor ekonomi. Dengan sendirinya, tidak
setiap ada kegiatan, apakah membangun gedung atau kegiatan lain, tidak selalu
sibuk mengedarkan proposal kesana-kemari.
Maka dari itu Pengembangan ekonomi pesantren mempunyai andil
besar dalam menggalakkan wirausaha. Di lingkungan pesantren para santri dididik
untuk menjadi manusia yang bersikap mandiri dan berjiwa
wirausaha. Pesantren giat berusaha dan bekerja secara independen tanpa
menggantungkan nasib pada orang lain atau lembaga pemerintah swasta. Secara
kelembagaan pesantren telah memberikan tauladan, contoh riil (bi al-haal)
dengan mengaktualisasikan semangat kemandirian melalui usaha-usaha yang konkret
dengan didirikannya beberapa unit usaha ekonomi mandiri pesantren. Secara umum
pengembangan berbagai usaha ekonomi di pesantren dimaksudkan untuk memperkuat
pendanaan pesantren, latihan bagi para santri, dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat, sehingga
Pondok Pesantren tidak sibuk mengedarkan proposal untuk bantuan dana dan lain
sebagainya untuk pemberdayaan pesantren.
IV.
SIMPULAN
Beberapa pesantren mencoba membekali santri dengan keterampilan
dibidang pengembangan ekonomi. Artinya santri yang dihasilkan diharapkan
mempunyai pengalaman dan syukur keahlian praktis tertentu yang nantinya
dijadikan modal untuk mencari pendapatan hidup sekeluar dari pesantren
diantaranya :
Pengembangan ekonomi yang berpusat pada kyai sebagai orang
yang paling bertanggungjawab dalam mengembangkan pesantren, pengembangan
ekonomi untuk santri dengan memberi ketrampilan dan kemampuan bagi santri agar
kelak ketrampilan itu dapat dimanfaatkan selepas keluar dari pesantren, pengembangan
ekonomi pesantren untuk memperkuat biaya operasional pesantren, dan pengembangan
ekonomi bagi para alumni santri. Pengurus pesantren dengan melibatkan para
alumni santri menggalang sebuah usaha tertentu dengan tujuan untuk menggagas
suatu usaha produktif bagi individu alumni, syukur bagai nanti keuntungan
selebihnya dapat digunakan untuk mengembangkan pesantren.
Secara umum pengembangan berbagai usaha ekonomi di
pesantren dimaksudkan untuk memperkuat pendanaan pesantren, latihan bagi para
santri, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat saya susun dengan semaksimal mungkin, semoga dapat menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan kita. Saya sadar bahwa dalam penyusunan makalah
ini masih banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya
sangat mengharap kritik dan sarat yang bersifat membangun dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini
yang akan saya buat selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
[1] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah
Potret Perjalanan , Jakarta, Paramadina, 1997, hlm. 3
[3] A. Halim, Menggali
Potensi Ekonomi Pondok Pesantren, Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2005, hlm.
223.
[4] Sulton, Manajemen Kewirausahaan
Kependidikan , Malang, Universitas Negeri Malang, 2003 , hlm. 233