Selasa, 21 April 2015

makalah Manajemen Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren


PENGEMBANGAN EKONOMI PONDOK PESANTREN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Manajemen Pendidikan Diniyah dan Pesantren
         Dosen Pengampu : Dr. H. Fatah Syukur NC, M.Ag
  

Disusun Oleh :
1.      Erlina Handayani        (133311016)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014







       I.            PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pesantren sebagai sebuah institusi budaya yang lahir atas prakarsa dan inisiatif (tokoh) masyarakat dan bersifat otonom, sejak awal berdirinya merupakan potensi strategis yang ada di tengah kehidupan sosial masyarakat. Kendati kebanyakan pesantren hanya memposisikan dirinya sebagai institusi pendidikan dan keagamaan, namun sejak tahun 1970-an beberapa pesantren telah berusaha melakukan reposisi dalam menyikapi berbagai persoalan sosial masyarakat, seperti ekonomi, sosial, dan politik.[1]
Pesantren dengan berbagai harapan dan predikat yang dilekatkan kepadanya, sesungguhnya berujung pada tiga fungsi utama yang senantiasa diembannya, yaitu: (1) sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (centre of exellence), (2) sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human resource), (3) sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent of development). Selain ketiga fungsi tersebut pesantren juga dipahami sebagai bagian yang terlibat dalam proses perubahan sosial (social change) di tengah perubahan yang terjadi.
Pada batas tertentu pesantren tergolong di antara lembaga pendidikan keagamaan swasta yang leading, dalam arti berhasil merintis dan menunjukkan keberdayaan baik dalam hal kemandirian penyelenggaraan maupun pendanaan (self financing). Tegasnya selain menjalankan tugas utamanya sebagai kegiatan pendidikan Islam yang bertujuan regenerasi ulama, pesantren telah menjadi pusat kegiatan pendidikan yang konsisten dan relatif berhasil menanamkan semangat kemandirian, kewiraswastaan, semangat berdikari yang tidak menggantungkan diri kepada orang lain.
Pengembangan ekonomi masyarakat pesantren mempunyai andil besar dalam menggalakkan wirausaha. Di lingkungan pesantren para santri dididik untuk menjadi manusia yang bersikap mandiri dan berjiwa wirausaha. Pesantren giat berusaha dan bekerja secara independen tanpa menggantungkan nasib pada orang lain atau lembaga pemerintah swasta. Secara kelembagaan pesantren telah memberikan tauladan, contoh riil (bi al-haal) dengan mengaktualisasikan semangat kemandirian melalui usaha-usaha yang konkret dengan didirikannya beberapa unit usaha ekonomi mandiri pesantren. Secara umum pengembangan berbagai usaha ekonomi di pesantren dimaksudkan untuk memperkuat pendanaan pesantren, latihan bagi para santri, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pengembangan ekonomi pondok pesantren ?
2.    Apa saja potensi ekonomi yang dimiliki Pondok Pesantren ?
3.    Apa saja hambatan dalam pengembangan ekonomi pondok pesantren?

    II.            PEMBAHASAN
1.      Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren
Berangkat dari kesadaran bahwa tidak semua santri akan menjadi ulama, maka beberapa pesantren mencoba membekali santri dengan keterampilan dibidang pengembangan ekonomi. Artinya santri yang dihasilkan diharapkan mempunyai pengalaman dan syukur keahlian praktis tertentu yang nantinya dijadikan modal untuk mencari pendapatan hidup sekeluar dari pesantren. Kalau mencermati perilaku ekonomi di lingkungan pesantren pada umumnya, kita dapat menerka kemungkinan model apa yang sedang berjalan dalam usaha-usaha tersebut. Setidaknya ada empat macam pengembangan ekonomi di lingkungan pesantren yaitu[2]:
Pertama, pengembangan ekonomi yang berpusat pada kyai sebagai orang yang paling bertanggungjawab dalam mengembangkan pesantren. Misalnya seorang kyai mempunyai perkebunan cengkih yang luas. Untuk pemeliharaan dan pemanenan, kyai mmelibatkan santri-santrinya untuk mengerjakannya. Maka terjadilah hubungan mutualisme saling menguntungkan: kyai dapat memproduksikan perkebunannya, santri mempunyai pendapat tambahan, dan ujungnya dengan keuntungan yang dihasilkan dari perkebunan cengkeh maka kyai dapat menghidupi kebutuhan pengembangan pesantrennya.
Kedua, pengembangan ekonomi pesantren untuk memperkuat biaya operasional pesantren. Contohnya, pesantren memiliki unit usaha produktif seperti menyewakan gedung pertemuan, rumah dsb. Dari keuntungan usaha-usaha produktif ini pesantren mampu membiayai dirinya, sehingga seluruh biaya operasional pesantren dapat ditalangi oleh usaha ekonomi ini.
Ketiga, pengembangan ekonomi untuk santri dengan memberi ketrampilan dan kemampuan bagi santri agar kelak ketrampilan itu dapat dimanfaatkan selepas keluar dari pesantren. Pesantren membuat program pendidikan sedemikian rupa yang berkaitan dengan usaha ekonomi seperti pertanian dan peternakan. Tujuannya semata-mata untuk membekali santri agar mempunyai ketrampilan tambahan, dengan harapan menjadi bekal dan alat untuk mencari pendapatan hidup.
Keempat, pengembangan ekonomi bagi para alumni santri. Pengurus pesantren dengan melibatkan para alumni santri menggalang sebuah usaha tertentu dengan tujuan untuk menggagas suatu usaha produktif bagi individu alumni, syukur bagai nanti keuntungan selebihnya dapat digunakan untuk mengembangkan pesantren. Prioritas utama tetap untuk pemberdayaan para alumni santri. Contohnya Pesantren mendirikan usaha ekonomi berupa koperasi yang bergerak dalam kegiatan simpan pinjam, perdagangan dan lain-lain.
2.      Potensi Ekonomi Pondok Pesantren
a.     Kyai-Ulama
Kyai-ulama pesantren yang dipandang sebagai potensi pesantren yang mempunyai nilai ekonomis, setidaknya dapat kita lihat pada tiga hal:
a)   Kedalaman ilmu kyai-ulama. Artinya, figur seorang kyai merupakan magnet (daya tarik) yang luar biasa bagi calon santri untuk berburu ilmu. Pada umumnya, seorang kiai adalah tokoh panutan masyarakat dan pemerintah. Ketokohan seorang kyai ini memunculkan sebuah kepercayaan, dan dari kepercayaan melahirkan akses.
b.    Pada umumnya, seorang kyai sebelum membangun pesantren telah mandiri secara ekonomi, misalnya sebagai petani, pedagang, dan sebagainya. Sejak awal kyai telah mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh, tidak hanya dari aspek mental, tetapi juga sosial ekonomi. Jiwa dan semangat entrepreneurship inilah yang mendasari kemandirian perokonomian pesantren. Apabila aset dan jiwa entrepreneurship ini dipadukan, maka hasilnya dapat dijadikan dasar membangun tatanan ekonomi pesantren.
c.    Santri
Potensi ekonomi kedua yang melekat pada pesantren adalah para santri. Hal ini dipahami bahwa pada umumnya santri mempunyai potensi/bakat bawaan seperti kemampuan membaca al-Qur’an, kaligrafi, pertukangan, dan lain sebagainya. Bakat bawaan ini sudah seharusnya selalu dipupuk dan dikembangkan. Karena itulah, ada baiknya bila dalam Ponpes diterapkan penelusuran potensi/bakat dan minat santri, kemudian dibina dan dilatih. Dengan demikian, dalam Ponpes tersebut perlu juga dikembangkan Wadah Apresiasi Potensi Santri (WAPOSI), wadah semacam ini, mungkin sudah ada di beberapa Ponpes, tinggal bagaimana mengaturnya supaya produktif. Perlu juga ditambahkan, penggalian potensi diri santri-murid ini merambah pada potensi-potensi, semisal politisi, advokasi, jurnalistik, dan seterusnya. Karenanya, untuk ke depan wajah Ponpes menjadi semakin kaya ragam dan warna.
d.   Pendidikan
Potensi ekonomi dari pendidikan pesantren ini terletak pada santri/murid, guru,sarana dan prasarana. Dari sisi santri/murid, sudah barang tentu dikenai kewajiban membayar SPP, di samping sumbangan-sumbangan wajib lainnya.
Untuk kelancaran proses belajar mengajar, diperlukan seperangkat buku, kitab, dan alat-alat tulis. Dari sini bisa dikembangkan salah satu unit usaha pesantren yang menyediakan sarana belajar tersebut. Misalnya toko buku/kitab, alat tulis, dan photo copy. Belum lagi dari sisi kebutuhan sehari-hari, seperti makan, minum, air, telephon, asrama, pakaian, dan lain sebagainya. Potensi ekonomi dari sektor pendidikan ini tentu menjadi semakin sempurna bila digabung dengan potensi diri santri-murid seperti telah dijelaskan dalam poin dua. Persoalannya tinggal bagaimana semua potensi ini dikelola secara profesional, tetapi tetap menampilkan karakteristik pesantren.[3]
Inilah salah satu tantangan Ponpes dan lembaga pendidikan yang ada dalam Ponpes. Karena itulah diperlukan keberanian manajerial dari para pengasuh untuk mewarnai manajemen Ponpes secara lebih profesional dan modern, tetapi khas pesantren. Dalam konteks ini, keharismatikan seorang Kiai-ulama, tidak hanya dilihat dari aspek agama, tetapi juga aspek yang lain, seperti wawasan dan manajerial Kiai-ulama. Apabila ketiga pilar utama ini terpenuhi, Ponpes telah memenuhi tiga fungsi utamanya, yaitu Pertama, sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (center of excellence). Kedua, sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human resource). Ketiga, sebagai lembaga yang melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent of development).
3.       Hambatan dalam pengembangan ekonomi pondok pesantren
Salah satu fungsi dan peran pesantren adalah pemberdayaan ekonomi umat. Pengembangan wirausaha menjadi salah bidang yang penting untuk dikelola. Mengacu pada peran dan fungsi pesantren yang diemban tersebut, setidaknya ada tiga problem mendasar dalam pengembangan unit usaha di pesantren yang harus disadari bersama dan segera dicari solusinya.
a.    Sumber Daya Manusia (SDM)
Kualitas SDM di Indonesia yang dinilai masih sangat minim, secara objektif harus diakui bahwa sebagian di antaranya adalah sumber daya manusia pesantren. SDM di sini tentu saja tidak hanya meliputi kemampuan dasar akademis, tetapi juga kemampuan skill individual-kolektif. Perpaduan antara kemampuan akademis dan skill individual-kolektif inilah yang pada saatnya sangat menentukan terhadap kualitas suatu produk. Terbatasnya sumber daya manusia pesantren inilah yang menjadi problem pengembangan wirausaha di pesantren.
Pondok pesantren sebagai basis penciptaan generasi muda merupakan peluang yang cukup besar untuk menciptakan SDM dengan kompetensi utama. Dalam sistem pondok pesantren dikembangkan hal-hal berikut:
a).    Pengetahuan agama
Pengetahuan agama diberikan kepada santri pondok diharapkan sebagai landasan mental spiritual yang akan mampu menjadi fliter atau penyaring terhadap budaya-budaya yang tidak produktif dan justru menjerumuskan generasi muda. Salah satu contoh budaya global yang sering menjangkiti yaitu minuman keras, budaya hedonis. Generasi muda yang sudah terjangkit penyakit tersebut dapat dipastikan tidak baik untuk masa depan dirinya, lingkungan maupun bangsanya.
b).    Pengetahuan Umum
Disamping pengetahuan agama santri pondok juga dibekali pengetahuan umum. Bekal pengetahuan umum ini berfungsi sebagai upaya untuk membaca fenomena alam dan sekaligus dapat berkreasi sesuai dengan bekal pengetahuan yang dimiliki untuk selanjutnya memanfaatkan, mengolah alam atau hasil alam menjadi sesuatu yang produktif dalam konteks kemakmuran.
 c).    Ketrampilan
Meskipun santri sudah memiliki pengetahuan agama dan umum namun tidak memiliki ketampilan maka sangat besar kemungkinkan tidak dapat berkreasi. Dengan adanya bekal ketrampilan santri dapat berkarya, menciptakan segala sesuatu, atau memanfaatkan segala sesuatu sesuai dengan minatnya. Ketrampilan yang dikembangkan dengan baik menjadi sarana mereka untuk lebih mandiri dan mampu menciptakan pekerjaan.
d). Kemampuan
Bekal pengetahuan baik agama dan pengetahuan umum, ketrampilan saja tidak cukup untuk dapat menjadi pemimpin atau pemenang dalam persaingan. Santri perlu juga dibekali dengan kemampuan. Kemampuan tersebut terdiri dari berbagai aspek baik manajerial, marketing, bisnis, kepemimpinan. Sarana untuk mewujudkan hal itu semua adalah dengan memberikan sarana berlatih, penggemblengan riil dan terjun secara langsung dalam wadah yang nyata.[4]

b.   Kelembagaan
Secara garis besar, model kelembagaan Ponpes dapat dikategorikan ke dalam dua kategori,sebagai berikut:
a)    Integrated Structural
Model kelembagaan integrated structural  adalah semua unit/bidang yang ada dalam pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dalam pesantren. Model seperti ini, sebenarnya tidak terlalu bermasalah, dengan syarat masing-masing bagian mempunyai job description  yang jelas, termasuk hak dan kewenangannya. Sebaliknya, apabila tanpa adanya  job description  yang jelas, sementara kendali organisasi berpusat hanya pada satu orang, maka dapat dipastikan bahwa sistem keorganisasian dan kelembagaan sulit untuk berkembang.
b)   Integrated Non Structural
Model kelembagaan pesantren  integrated non structural  adalah unit atau bidang-bidang, misalnya bidang usaha ekonomi, bidang pengabdian masyarakat, dan bidang kesehatan yang dikembangkan pesantren terpisah secara struktural organisatoris. Artinya, setiap bidang mempunyai struktur tersendiri yang independen. Meski demikian, secara emosional dan ideologis tetap menyatu dengan pesantren. Pemisahan lembaga ini dimaksudkan sebagai upaya kemandirian lembaga, baik dalam pengelolaan atau pengembangannya. Model kelembagaan seperti ini biasanya mengadopsi sistem manajemen modern. Karenanya tolak ukurnya adalah profesionalisme.
c.    Terobosan/Inovasi dan Networking/Jaringan
Problem ketiga yang dirasa mendasar adalah kurangnya keberanian dari pesantren untuk melakukan terobosan ke luar, atau membuat jaringan, baik antara pesantren, maupun antara pesantren dengan institusi lain. Pentingnya pesantren untuk membina hubungan dengan institusi lain adalah untuk memahami eksistensinya sebagai agent of development. Sebab, untuk menjadi agen perubahan dan pemberdayaan, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, antar lain: wawasan, komunikasi, kekuasaan/kekuatan, politik, dan modalitas ekonomi. Dengan jaringan dan kerjasama yang dijalin, pesantren diharapkan mampu meningkatkan komunikasi, wawasan, dan kekuatan yang dimilikinya.

   III.               ANALISIS

Pondok Pesantren kenyatannya adalah lembaga potensial untuk bergerak ke arah ekonomi, sebagaimana kekuatan yang dimilikinya. Jika Ponpes hanya menjadi penonton di era yang akan datang, maka lembaga-lembaga ekonomi mikro lain boleh jadi bergerak ke arah kemajuan. Oleh karena itu, kiranya diperlukan analisis yang cermat untuk melakukan penguatan kelembagaan ekonomi ini, agar tidak salah melangkah. Sasaran akhir dari pengembangan ekonomi Ponpes adalah kemandirian pesantren. Baik pada institusi formal atau non formal. Labelling itu tentunya tidak mengenakkan. Ponpes akan terbebas dari anggapan itu kalau Ponpes menjadi lembaga yang kuat terutama dalam sektor ekonomi. Dengan sendirinya, tidak setiap ada kegiatan, apakah membangun gedung atau kegiatan lain, tidak selalu sibuk mengedarkan proposal kesana-kemari.
Maka dari itu Pengembangan ekonomi pesantren mempunyai andil besar dalam menggalakkan wirausaha. Di lingkungan pesantren para santri dididik untuk menjadi manusia yang bersikap mandiri dan berjiwa wirausaha. Pesantren giat berusaha dan bekerja secara independen tanpa menggantungkan nasib pada orang lain atau lembaga pemerintah swasta. Secara kelembagaan pesantren telah memberikan tauladan, contoh riil (bi al-haal) dengan mengaktualisasikan semangat kemandirian melalui usaha-usaha yang konkret dengan didirikannya beberapa unit usaha ekonomi mandiri pesantren. Secara umum pengembangan berbagai usaha ekonomi di pesantren dimaksudkan untuk memperkuat pendanaan pesantren, latihan bagi para santri, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, sehingga Pondok Pesantren tidak sibuk mengedarkan proposal untuk bantuan dana dan lain sebagainya untuk pemberdayaan pesantren.
 IV.            SIMPULAN
Beberapa pesantren mencoba membekali santri dengan keterampilan dibidang pengembangan ekonomi. Artinya santri yang dihasilkan diharapkan mempunyai pengalaman dan syukur keahlian praktis tertentu yang nantinya dijadikan modal untuk mencari pendapatan hidup sekeluar dari pesantren diantaranya :
Pengembangan ekonomi yang berpusat pada kyai sebagai orang yang paling bertanggungjawab dalam mengembangkan pesantren, pengembangan ekonomi untuk santri dengan memberi ketrampilan dan kemampuan bagi santri agar kelak ketrampilan itu dapat dimanfaatkan selepas keluar dari pesantren, pengembangan ekonomi pesantren untuk memperkuat biaya operasional pesantren, dan pengembangan ekonomi bagi para alumni santri. Pengurus pesantren dengan melibatkan para alumni santri menggalang sebuah usaha tertentu dengan tujuan untuk menggagas suatu usaha produktif bagi individu alumni, syukur bagai nanti keuntungan selebihnya dapat digunakan untuk mengembangkan pesantren.
Secara umum pengembangan berbagai usaha ekonomi di pesantren dimaksudkan untuk memperkuat pendanaan pesantren, latihan bagi para santri, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
    V.            PENUTUP
Demikian makalah yang dapat saya susun dengan semaksimal mungkin, semoga dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita. Saya sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya sangat mengharap kritik dan sarat yang bersifat membangun dari para pembaca  demi kesempurnaan makalah ini yang akan saya buat selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

[1] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan , Jakarta, Paramadina, 1997, hlm. 3

[2] Syamsudduha, Manajemen Pesantren: Teori dan Praktek, Yogyakarta: Graha Guru, 2004,  hlm. 15-16.
[3] A. Halim, Menggali Potensi Ekonomi Pondok Pesantren, Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2005, hlm. 223.

[4] Sulton, Manajemen Kewirausahaan Kependidikan , Malang, Universitas Negeri Malang, 2003 , hlm. 233